MOHON SETELAH MENG-COPYPASTE HARAP CANTUMKAN ALAMAT BLOG INI ! TERIMAKASIH :)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Kita
sepakat bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang tidak asing bagi kita, terlebih
bagi kita yang bergerak di bidang pendidikan, juga pasti kita sepakat bahwa
pendidikan diperlukan oleh semua orang. Bahkan dapat kita katakan bahwa
pendidikan ini dialami oleh semua manusia dari semua golongan. Tetapi
seringkali kita lupa bahkan sama sekali belum menyadari kapan pendidikan itu
kita mulai, bagaimana
pendidikan itu tertanam pada diri kita, hal-hal apa saja yang mempengaruhi kependidikan dalam dirikita dan pendidikan seperti apakah yang paling efisien yang pernah kita alami.
pendidikan itu tertanam pada diri kita, hal-hal apa saja yang mempengaruhi kependidikan dalam dirikita dan pendidikan seperti apakah yang paling efisien yang pernah kita alami.
Sebagai
seorang calon tenaga pendidik (guru) dan tidak tertutup kemungkinan untuk semua
orang, perlu untuk kita mengetahui aliran, teori serta pilar dalam pendidikan
sebelum kita terjun jauh kedalam dunia kependidikan sebagai salah satu syarat
untuk menjadi tenaga pendidik yang berkompetensi dan profesionalisme. Karna
banyak fakta yang kita lihat, kehancuran suatu bangsa selalu dimulai dari kemunduran
di bidang kependidikannya, dan kemunduran pada bidang pendidikan selalu
diakibatkan dari ketidakkompetensian dan profesionalisme para tenaga pendidik.
Maka
dari itu, makalah singkat ini mencoba
mengungkapkan aliran-aliran dalam pendidikan, teori-teori dalam pendikan serta
pilar-pilar dalam pendidikan yang telah dikemukakan para pakar dengan
menampilkan pendapat-pendapat para pakar pendidikan dalam nuansa yang
berbeda-beda, baik literature dari barat maupun timur yang penting untuk kita
ketahui bersama.
1.2
Perumusan Masalah
Dengan
melihat latar belakang yang telah dikemukakan maka beberapa masalah yang dapat
penulis rumuskan dan akan dibahas dalam karya ilmiah ini adalah:
1. Apa saja aliran-aliran dalam pendidikan yang telah dikemukakan para ahli?
1. Apa saja aliran-aliran dalam pendidikan yang telah dikemukakan para ahli?
2. Apa
saja teori-teori dalam pendidikan yang telah dikemukakan para ahli?
3. Apa
saja pilar-pilar dalam pendidikan yang telah direkomendasikan?
1.3
Tujuan Penelitian
Penulisan karya ilmiah ini dilakukan
untuk memenuhi tujuan-tujuan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi dari peran seorang guru matematika.
Secara terperinci, tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah;
1. Sebagai
rujukan bagi kita semua dalam menjalankan nilai kependidikan dalam kehidupan
sehari-hari untuk kepribadian kita maupun terhadap orang lain, terutama sekali
bagi orang-orang yang berkecinamung dalam dunia kependidikan sebagai usaha
dalam penyesuaian proses pendidikan dengan kebutuhan yang diperlukan.
2. Sebagai
salah satu pemenuhan akan kebutuhan pengetahuan dalam bidang kependidikan
sebagai usaha dalam penyesuaian proses pendidikan dengan kebutuhan yang
diperlukan.
3. Sebagai
sarana peningkatan pengetahuan akan teori-teori maupun pilar-pilar dalam
pendidikan dalam kehidupan sehari-hari yang tidak pernah terlepas dari usaha
pembelajaran.
1.4
Manfaat
Banyak sekali manfaat yang dapat kita dapatkan
dari makalah ini, diantaranya :
1. Kita
dapat mengetahui beberapa aliran-aliran pendidikan yang berbeda-beda yang telah
di kemukakan oleh para ahli yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
2. Kita
dapat memahami beberapa teori pendidikan yang telah di kemukakan para ahli
sekaligus mengaplikasikannya dalam proses belajar maupun mengajar dalam
kehidupan sehari-hari.
3. Kita
dapat mengetahui pilar-pilar pendidikan yang telah direkomendasikan sekaligus
dapat kita terapkan sebagai prinsip pembelajaran dalam dunia pendidikan.
1.5
Pemecahan Masalah
Dalam
pemecahan masalah, penulis menggunakan pendekatan deskriptif analitik, yaitu
dengan memaparkan pernyatan-pernyataan serta teori-teori dari berbagai
literature secara teliti dan kritis yang relavan dengan permasalahan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
Aliran,
Teori, dan Pilar-pilar dalam Pendidikan
A.
ALIRAN PENDIDIKAN
Aliran-aliran pendidikan adalah
pemikiran-pemikiran yang membawa pembaharuan dalam dunia pendidikan. banyak
bermunculan pemikiran-pemikiran yang dianggap sebagai penyesuaian p
Sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, pendidikan memiliki nuansa berbeda antara satu daerah dengan
daerah lain, sehingga roses pendidikan dengan kebutuhan yang diperlukan.
Karenanya banyak teori yang dikemukakan pada pemikir yang bermuara pada
munculnya berbagai aliran pendidikan.
a.
Aliran
Empiris
Tokoh aliran Empirisme adalah John Lock, filosof Inggris
yang hidup pada tahun 1632-1704. Teorinya dikenal dengan Tabulae rasae (meja
lilin), yang menyebutkan bahwa anak yang lahir ke dunia seperti kertas putih
yang bersih. Kertas putih akan mempunyai corak dan tulisan yang digores oleh
lingkungan. Faktor bawaan dari orangtua (faktor keturunan) tidak dipentingkan.
Pengalaman diperoleh anak melalui hubungan dengan lingkungan (sosial, alam, dan
budaya). Pengaruh empiris yang diperoleh dari
lingkungan berpengaruh besar
terhadap perkembangan anak. Menurut aliran ini, pendidik sebagai faktor luar
memegang peranan sangat penting, sebab pendidik menyediakan lingkungan
pendidikan bagi anak, dan anak akan menerima pendidikan se¬bagai pengalaman.
Pengalaman tersebut akan membentuk tingkah laku, sikap, serta watak anak sesuai
dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.
Misalnya: Suatu keluarga yang kaya raya ingin memaksa
anaknya menjadi pelukis. Segala alat diberikan dan pendidik ahli didatangkan.
Akan tetapi gagal, karena bakat melukis pada anak itu tidak ada. Akibatnya
dalam diri anak terjadi konflik, pendidikan mengalami kesukaran dan hasilnya
tidak optimal.
Contoh lain, ketika dua anak kembar sejak lahir
dipisahkan dan dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Satu dari mereka dididik
di desa oleh keluarga petani golongan miskin, yang satu dididik di lingkungan
keluarga kaya yang hidup di kota dan disekolahkan di sekolah modern. Ternyata
pertumbuhannya tidak sama.
Kelemahan aliran ini adalah hanya mementingkan pengalaman. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dikesampingkan. Padahal, ada anak yang berbakat dan berhasil meskipun lingkungan tidak mendukung.
Kelemahan aliran ini adalah hanya mementingkan pengalaman. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dikesampingkan. Padahal, ada anak yang berbakat dan berhasil meskipun lingkungan tidak mendukung.
Jadi, kesimpulannya aliran Empiris adalah Aliran
ini menganut paham yang berpendapat bahwa segala pengetahuan, keterampilan dan
sikap manusia dalam perkembanganya ditentukan oleh pengalaman (empiris) nyata
melalui alat inderanya baik secara langsung berinteraksi dengan dunia luarnya
maupun melalui proses pengolahan dalam diri dari apa yang didapatkan secara
langsung
b.
Aliran
Nativisme
Tokoh aliran Nativisme adalah Schopenhauer. la adalah
filosof Jerman yang hidup pada tahun 1788-1880. Aliran ini berpandangan bahwa
perkembangan individu ditentukan oleh faktor bawaan sejak lahir. Faktor
lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Oleh
karena itu, hasil pendidikan ditentukan oleh bakat yang dibawa sejak lahir.
Dengan demikian, menurut aliran ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh
individu itu sendiri. Nativisme berpendapat, jika anak memiliki bakat jahat
dari lahir, ia akan menjadi jahat, dan sebaliknya jika anak memiliki bakat
baik, ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat yang
dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri. Pandangn itu
tidak menyimpang dari kenyataan. Misalnya, anak mirip orangtuanya secara fisik
dan akan mewarisi sifat dan bakat orangtua. Prinsipnya, pandangan Nativisme
adalah pengakuan tentang adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia
lahir ke dunia, yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat
herediter, serta kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri
tiap manusia. Ada yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal
kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu. Misalnya,
seorang anak yang berasal dari orangtua yang ahli seni musik, akan berkembang
menjadi seniman musik yang mungkin melebihi ke-mampuan orangtuanya, mungkin
juga hanya sampai pada setengah kemampuan orangtuanya.
Coba simak cerita tentang anak manusia yang hidup di
bawah asuhan serigala. la bernama Robinson Crussoe. Crussoe sejak bayi hidup di
tengah hutan rimba belantara yang ganas. la tetap hidup dan berkembang atas
bantuan air susu serigala sebagai induknya. Serigala itu memberi Crussoe
makanan se-suai selera serigala sampai dewasa. Akhirnya, Crussoe mempunyai gaya
hidup, bicara, ungkapan bahasa, dan watak seperti serigala, padahal dia adalah
anak manusia. Kenyataan ini pun membantah teori Nativisme, sebab gambaran dalam
cerita Robinson Crussoe itu telah membuktikan bahwa lingkungan dan didikan
membawa pengaruh besar terhadap perkembangan anak.
c.
Aliran
Naturalisme
Tokoh aliran ini adalah J.J. Rousseau. la adalah
filosof Prancis yang hidup tahun 1712-1778. Natu¬ralisme mempunyai pandangan
bahwa setiap anak yang lahir di dunia mempunyai pembawaan baik, namun pembawaan
tersebut akan menjadi rusak karena pengaruh lingkungan, sehingga aliran
Naturalisme sering disebut Negativisme. Naturalisme memiliki tiga prinsip
tentang proses pembelajaran ( M. Arifin dan A minuddin R., 1992:9 ), yaitu:
1) Anak didik belajar melalui pengalamannya sendiri.
Kemudian terjadi interaksi antara pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan
perkembangan di dalam dirinya secara alami.
2) Pendidik hanya menyediakan lingkungan belajar yang
menyenangkan. Pendidik berperan sebagai fasilitator atau narasumber yang
menyediakan lingkungan yang mampu mendorong keberanian anak didik ke arah
pandangan yang positif dan tanggap terhadap kebutuhan untuk memperoleh
bimbingan dan sugesti dari pendidik. Tanggung jawab belajar terletak pada diri
anak didik sendiri.
3) Program pendidikan di sekolah harus disesuaikan
dengan minat dan bakat dengan menyediakan lingkungan belajar yang berorientasi
kepada pola belajar anak didik. Anak didik secara bebas diberi kesempatan untuk
menciptakan lingkungan belajarnya sendiri sesuai dengan minat dan perhatiannya.
Dengan demikian, aliran Naturalisme menitikberatkan
pada strategi pembelajaran yang bersifat paedosentris; artinya, faktor
kemampuan individu anak didik menjadi pusat kegiatan proses belajar-mengajar.
d.
Aliran
Konvergensi
Tokoh aliran Konvergensi adalah William Stem. la
seorang tokoh pendidikan Jerman yang hidup tahun 1871-1939. Aliran Konvergensi
merupakan kompromi atau kombinasi dari aliran Nativisme dan Empirisme. Aliran
ini berpendapat bahwa anak lahir di dunia ini telah memiliki bakat baik dan
buruk, sedangkan perkembangan anak selanjutnya akan dipengaruhi oleh
lingkungan. Jadi, faktor pembawaan dan lingkungan sama-sama berperan penting.
Anak yang mempunyai pembawaan baik dan didukung oleh
lingkungan pendidikan yang baik akan menjadi semakin baik. Sedangkan bakat yang
dibawa sejak lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa dukungan lingkungan
yang sesuai bagi perkembangan bakat itu sendiri. Sebaliknya, lingkungan yang
baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak secara optimal jika tidak
didukung oleh bakat baik yang dibawa anak.
Dengan demikian, aliran Konvergensi menganggap bahwa
pendidikan sangat bergantung pada faktor pembawaan atau bakat dan lingkungan.
Hanya saja, William Stem tidak menerangkan seberapa besar perbandingan pengaruh
kedua faktor tersebut. Sampai sekarang pengaruh dari kedua faktor tersebut
belum bisa ditetapkan.
e.
Aliran
Progresivisme
Tokoh aliran Progresivisme adalah John Dewey. Aliran
ini berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan
dapat menghadapi serta mengatasi masalah yang bersifat menekan, ataupun
masalah-masalah yang bersifat mengancam dirinya.
Aliran ini memandang bahwa peserta didik mempunyai
akal dan kecerdasan. Hal itu ditunjukkan dengan fakta bahwa manusia mempunyai
kelebihan jika dibanding makhluk lain. Manusia memiliki sifat dinamis dan
kreatif yang didukung oleh ke-cerdasannya sebagai bekal menghadapi dan
memecahkan masalah. Peningkatan kecerdasan menjadi tugas utama pendidik, yang
secara teori mengerti karakter peserta didiknya.
Peserta didik tidak hanya dipandang sebagai kesatuan
jasmani dan rohani, namun juga termanifestasikan di dalam tingkah laku dan
perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan rohani, terutama
kecerdasan, perlu dioptimalkan. Artinya, peserta didik diberi kesempatan untuk
bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang
berlangsung di sekitarnya, sehingga suasana belajar timbul di dalam maupun di
luar sekolah.
f.
Aliran Esensialisme
Aliran Esensialisme bersumber dari filsafat idealisme
dan realisme. Sumbangan yang diberikan keduanya bersifat eklektik. Artinya, dua
aliran tersebut bertemu sebagai pendukung Esensialisme yang berpendapat bahwa
pendidikan harus bersendikan nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan.
Artinya, nilai-nilai itu menjadi sebuah tatanan yang menjadi pedoman hidup,
sehingga dapat mencapai kebahagiaan. Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah
yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad yang
lalu, yaitu zaman Renaisans.
Adapun pandangan tentang pendidikan dari tokoh
pendidikan Renaisans yang pertama adalah Johan Amos Cornenius (1592-1670),
yaitu agar segala sesuatu diajarkan melalui indra, karena indra adalah pintu
gerbangnya jiwa. Tokoh kedua adalah Johan Frieddrich Herbart (1776-1841) yang
mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan
kebajikan Tuhan. Artinya, perlu ada penyesuaian dengan hukum kesusilaan. Proses
untuk mencapai tujuan pendidikan itu oleh Herbart disebut sebagai pengajaran.
Tokoh ketiga adalah William T. Harris (1835-1909) yang
berpendapat bahwa tugas pendidikan adalah menjadikan terbukanya realitas
berdasarkan susunan yang tidak terelakkan dan bersendikan ke-satuan spiritual.
Sekolah adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun-temurun,
dan menjadi penuntun penyesuaian orang pada masyarakat.
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa aliran
Esensialisme menghendaki agar landasan pendidikan adalah nilai-nilai esensial,
yaitu yang telah teruji oleh waktu, bersifat menuntun, dan telah turun-temurun
dari zaman ke zaman sejak zaman Renaisans.
g.
Aliran Perenialisme
Tokoh aliran Perenialisme adalah Plato, Aris-toteles,
dan Thomas Aquino. Perenialisme memandang bahwa kepercayaan aksiomatis zaman
kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar pendidikan sekarang. Pandangan
aliran ini tentang pendidikan adalah belajar untuk berpikir. Oleh sebab itu,
peserta didik harus dibiasakan untuk berlatih berpikir sejak dini.
Pada awalnya, peserta didik diberi kecakapan-kecakapan
dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung. Selanjutnya perlu dilatih pula
kemampuan yang lebih tinggi seperti berlogika, retorika, dan bahasa.
h.
Aliran Konstruktivisme
Gagasan pokok aliran ini diawali oleh Giambatista
Vico, seorang epistemolog Italia. la dipandang sebagai cikal-bakal lahirnya
Konstruksionisme. la mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta dan
manusia adalah tuan dari ciptaan (Paul Suparno, 1997: 24). Mengerti berarti
mengetahui sesuatu jika ia mengetahui. Hanya Tuhan yang dapat mengetahui segala
sesuatu karena dia pencipta segala sesuatu itu. Manusia hanya dapat mengetahui
sesuatu yang dikonstruksikan Tuhan. Bagi Vico, pengetahuan dapat menunjuk pada
struktur konsep yang dibentuk. Pengetahuan tidak bisa lepas dari subjek yang
mengetahui.
Aliran ini dikembangkan oleh Jean Piaget. Melalui
teori perkembangan kognitif, Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan
interaksi kontinu antara individu satu dengan lingkungannya. Artinya,
pengetahuan merupakan suatu proses, bukan suatu barang. Menurut Piaget,
mengerti adalah proses adaptasi intelektual antara pengalaman dan ide baru
dengan pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga dapat terbentuk pengertian
baru (Paul Supamo, 1997: 33).
Piaget juga berpendapat bahwa perkembangan kognitif
dipengaruhi oleh tiga proses dasar, yaitu asimilasi, akomodasi, dan
ekuilibrasi. Asimilasi adalah perpaduan data baru dengan struktur kognitif yang
telah dimiliki. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi
baru, dan ekuilibrasi adalah penyesuaian kembali yang secara terus-menerus
dilakukan antara asimilasi dan akomodasi (Suwardi, 2004: 24). Kesimpulannya,
aliran ini menegaskan bahwa pengetahuan mutlak diperoleh dari hasil konstruksi
konitif dalam diri seseorang; melalui pengalaman yang diterima lewat
pancaindra, yaitu indra penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman, dan
perasa. Dengan demikian, aliran ini, dengan alasan pengetahuan bukan barang
yang bisa dipindahkan, sehingga jika pembelajaran pembelajaran ditujukan untuk
mentransfer ilmu, perbuatan itu akan sia-sia saja. Sebaliknya, kondisi ini akan
berbeda jika pembelajaran ini ditujukan untuk menggali pengalaman.
B.
TEORI-TEORI
PENDIDIKAN
1.
Teori Koneksionisme
Edward Lee Thorndike adalah tokoh psikologi yang mampu
memberikan pengaruh besar terhadap berlangsungnya proses pembelajaran. Teorinya
dikenal dengan teori Stimulus-Respons. Menurutnya, dasar belajar adalah asosiasi
antara stimulus (S) dengan respons (R). Stimulus akan memberi kesan ke-pada
pancaindra, sedangkan respons akan mendorong seseorang untuk melakukan
tindakan. Asosiasi seperti itu disebut Connection. Prinsip itulah yang kemudian
disebut sebagai teori Connectionism.
Pendidikan yang dilakukan Thorndike adalah
menghadapkan subjek pada situasi yang mengandung problem. Model eksperimen yang
ditempuhnya sangat sederhana, yaitu dengan menggunakan kucing sebagai objek
penelitiannya. Kucing dalam keadaan lapar dimasukkan ke dalam kandang yang
dibuat sedemikian rupa, dengan model pintu yang dihubungkan dengan tali. Pintu
tersebut akan terbuka jika tali tersentuh/tertarik. Di luar kandang diletakkan
makanan untuk merangsang kucing agar bergerak ke-luar. Pada awalnya, reaksi
kucing menunjukkan sikap yang tidak terarah, seperti meloncat yang tidak
menentu, hingga akhirnya suatu saat gerakan kucing menyentuh tali yang
menyebabkan pintu terbuka.
Setelah percobaan itu diulang-ulang, ternyata tingkah
laku kucing untuk keluar dari kandang menjadi semakin efisien. Itu berarti,
kucing dapat memilih atau menyeleksi antara respons yang berguna dan yang
tidak. Respons yang berhasil untuk membuka pintu, yaitu menyentuh tali akan
dibuat pembiasaan, sedangkan respons lainnya dilupakan. Eksperimen itu
menunjukkan adanya hubungan kuat antara stimulus dan respons.
Thorndike merumuskan hasil eksperimennya ke dalam tiga
hukum dasar (Suwardi, 2005: 34-36), sebagai berikut:
a.
Hukum Kesiapan (The Law of Readiness)
Hukum ini memberikan keterangan mengenai kesiapan
seseorang merespons (menerima atau menolak) terhadap suatu stimulan. Pertama,
bila sese¬orang sudah siap melakukan suatu tingkah laku, pelaksanaannya akan
memberi kepuasan baginya sehingga tidak akan melakukan tingkah laku lain.
Contoh, peserta didik yang sudah benar-benar siap menempuh ujian, dia akan puas
bila ujian itu benar-benar dilaksanakan.
Kedua, bila seseorang siap melakukan suatu tingkah
laku tetapi tidak dilaksanakan, maka akan timbul kekecewaan. Akibatnya, ia akan
melakukan tingkah laku lain untuk mengurangi kekecewaan. Contoh peserta didik
yang sudah belajar tekun untuk ujian, tetapi ujian dibatalkan, ia cenderung
melakukan hal lain (misalnya: berbuat gaduh, protes) untuk melampiaskan
kekecewaannya.
Ketiga, bila seseorang belum siap melakukan suatu
perbuatan tetapi dia harus melakukannya, maka ia akan merasa tidak puas.
Akibatnya, orang tersebut akan melakukan tingkah laku lain untuk menghalangi
terlaksananya tingkah laku tersebut. Contoh, peserta didik tiba-tiba diberi tes
tanpa diberi tahu lebih dahulu, mereka pun akan bertingkah untuk menggagalkan
tes.
Keempat, bila seseorang belum siap melakukan suatu
tingkah laku dan tetap tidak melakukannya, maka ia akan puas. Contoh, peserta
didik akan merasa lega bila ulangan ditunda, karena dia belum belajar.
b.
Hukum Latihan (The Law of Exercise)
Hukum ini dibagi menjadi dua, yaitu hukum penggunaan
(the law of use), dan hukum bukan penggunaan (the law of disuse). Hukum
penggunaan menyatakan bahwa dengan latihan berulang-ulang, hubungan stimulus
dan respons akan makin kuat. Sedangkan hukum bukan penggunaan menyatakan bahwa
hubungan antara stimulus dan respons akan semakin melemah jika latihan
dihentikan. Contoh; Bila peserta didik dalam belajar bahasa Inggris selalu menghafal perbendaharaan kita, maka saat ada
stimulus berupa pertanyaan
“apa bahasa Inggrisnya kata yang berbahasa Indonesia….” maka peserta didik langsung bisa merespons pertanyaan itu dengan mengingat atau mencari kata yang benar. Sebaliknya, jika tidak pernah menghafal atau mencari, ia tidak akan memberikan respons dengan benar.
“apa bahasa Inggrisnya kata yang berbahasa Indonesia….” maka peserta didik langsung bisa merespons pertanyaan itu dengan mengingat atau mencari kata yang benar. Sebaliknya, jika tidak pernah menghafal atau mencari, ia tidak akan memberikan respons dengan benar.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip utama
belajar adalah pengulangan. Makin sering suatu pelajaran diulang, akan semakin
banyak yang dikuasainya. Sebaliknya, semakin tidak pernah diulang, pelajaran
semakin sulit untuk dikuasai.
c.
Hukum Akibat (The Law of Effect)
Hubungan
stimulus-respons akan semakin kuat, jika akibat yang ditimbulkan memuaskan.
Sebaliknya, hubungan itu akan semakin lemah, jika yang dihasilkan tidak
memuaskan. Maksudnya, suatu perbuatan yang diikuti dengan akibat yang
menyenangkan akan cenderung untuk diulang. Tetapi jika akibatnya tidak
menyenangkan, akan cenderung ditinggalkan atau dihentikan. Hubungan ini erat
kaitannya dengan pemberian hadiah (reward) dan sanksi (punishment).
Contoh: Peserta didik yang biasa menyontek lalu dibiarkan saja atau justru diberi nilai baik, anak didik itu akan cenderung mengulangnya, sebab ia merasa diuntungkan dengan kondisi seperti itu. Tetapi, bila ia ditegur atau dipindahkan sehingga temannya tahu kalau ia menyontek, ia akan merasa malu (merasa tidak diuntungkan oleh kondisi). Pada kesempatan lain, ia akan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan itu, sebab ia merasakan ada hal yang tidak menyenangkan baginya.
Contoh: Peserta didik yang biasa menyontek lalu dibiarkan saja atau justru diberi nilai baik, anak didik itu akan cenderung mengulangnya, sebab ia merasa diuntungkan dengan kondisi seperti itu. Tetapi, bila ia ditegur atau dipindahkan sehingga temannya tahu kalau ia menyontek, ia akan merasa malu (merasa tidak diuntungkan oleh kondisi). Pada kesempatan lain, ia akan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan itu, sebab ia merasakan ada hal yang tidak menyenangkan baginya.
2. Teori Classical Conditionins
Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Ivan
Petrovich Pavlov, warga Rusia yang hidup pada tahun 1849-1936. Teorinya adalah
tentang condi¬tioned reflects. Pavlov mengadakan penelitian secara intensif
mengenai kelenjar ludah. Penelitian yang dilakukan Pavlov menggunakan anjing
sebagai objeknya. Anjing diberi stimulus dengan makanan dan isyarat bunyi,
dengan asumsi bahwa suatu ketika anjing akan merespons stimulan berdasarkan
kebiasaan.
Ketika akan makan, anjing mengeluarkan liur sebagai
isyarat dia siap makan. Percobaan itu diulang berkali-kali, dan pada akhirnya
percobaan dilakukan dengan memberi bunyi saja tanpa diberi makanan. Hasilnya,
anjing tetap mengeluarkan liur dengan anggapan bahwa di balik bunyi itu ada
makanan. Lewat penemuannya, Pavlov meletakkan dasar behaviorisme sekaligus
meletakkan dasar-dasar bagi berbagai penelitian mengenai proses belajar dan
pengembangan teori-teori belajar. Prinsip belajar menurut Pavlov adalah sebagai
berikut:
a. Belajar adalah pembentukan kebiasaan dengan cara
menghubungkan/ mempertautkan antara perangsang (stimulus) yang lebih kurang
dengan perangsang yang lebih lemah.
b. Proses belajar terjadi apabila ada interaksi antara
organisme dengan lingkungan.
c. Belajar adalah membuat perubahan-perubahan pada
organisme/individu.
d. Setiap perangsang akan menimbulkan aktivitas otak.
e. Semua aktivitas susunan saraf pusat diatur oleh
eksitasi dan inhibitasi.
3. Teori Operant Conditionins
Teori ini dikemukakan oleh Burhus Frederic Skinner. la
membedakan tingkah laku responden, yaitu tingkah laku yang ditimbulkan oleh
stimulus yang jelas. Misalnya, kucing lari ke sana kemari karena melihat
daging. Operant Behavior adalah tingkah laku yang ditimbulkan oleh stimulus
yang belum diketahui, namun semata-mata ditimbulkan oleh organisme itu sendiri,
dan belum tentu dikehendaki oleh stimulus dari luar. Misalnya, kucing lari ke
sana kemari karena kucing itu lapar, bukan karena melihat daging (Sri Rumini,
1993: 75-76). Sesuai dengan dua tingkah laku tersebut, ada dua macam kondisi,
yaitu: Pertama, Respont Conditioning. Kondisi ini disebut sebagai tipe S, karena
menitikberatkan pada stimulus. Hal ini sama dengan kondisi yang dikemukakan
oleh Pavlov.
Kedua, Operant Conditioning. Kondisi ini disebut
sebagai tipe R, karena menitikberatkan pada pentingnya respons. Menurut
Skinner, ada dua prinsip umum dalam kondisi ini, yaitu:
· Setiap
respons yang diikuti stimulus yang memperkuat reward (ganjaran), akan cenderung
diulangi.
· Stimulus
yang memperkuat reward akan meningkatkan kecepatan terjadinya respons operant.
Dengan kata lain, reward akan mengakibatkan diulanginya suatu respons.
Setelah melakukan eksperimen berulang-ulang, Skinner
berkesimpulan bahwa mula-mula dalam jangka pendek, baik hukuman maupun hadiah,
mempunyai efek mengubah dan menaikkan tingkah laku yang dikehendaki. Namun
dalam jangka panjang, hadiah tetap berefek menaikkan, sedangkan hukuman justru
tidak berfungsi. Artinya, antara hadiah dan hukuman tidak simetris.
4.
Teori Gestalt
Max Wertheimer adalah psikolog Jerman yang menjadi
tokoh teori ini. Penemuan teori gestalt bermula ketika Wertheimer melihat
cahaya lampu yang berkedap-kedip saat naik kereta api pada jarak tertentu.
Sinar itu memberinya kesan sebagai sinar yang bergerak datang-pergi dan tidak
terputus.
Gestalt berasumsi, bila suatu organisasi dihadapkan
pada suatu problem, kedudukan kognisi tidak seimbang sampai problem itu
terpecahkan. Kognisi yang tidak seimbang mendorong organisme untuk mencari
keseimbangan sistem mental. Menurut gestalt, problem merupakan stimulus sampai
didapat suatu pemecahannya. Organisme atau individu akan selalu berpikir
tentang suatu bahan agar dapat memecahkan masalah yang dihadapinya sebagai
bentuk respons dari stimulus yang berupa masalah tadi. Penerapan teori gestalt
tampak pada
kurikulum yang sekarang digunakan di dunia pendidikan. Kurikulum mempunyai pusat yang sama. Dalam tingkatan rendah, disusun kurikulum dari suatu kesatuan yang utuh. Hal pokok diajarkan secara garis besar. Di tingkat yang lebih lanjut, kesatuan itu diberikan lagi dengan muatan yang lebih detail yang mengarah ke bagian-bagian yang telah diberikan di tingkat dasar. Begitu secara berkelanjutan di setiap jenjangnya.
kurikulum yang sekarang digunakan di dunia pendidikan. Kurikulum mempunyai pusat yang sama. Dalam tingkatan rendah, disusun kurikulum dari suatu kesatuan yang utuh. Hal pokok diajarkan secara garis besar. Di tingkat yang lebih lanjut, kesatuan itu diberikan lagi dengan muatan yang lebih detail yang mengarah ke bagian-bagian yang telah diberikan di tingkat dasar. Begitu secara berkelanjutan di setiap jenjangnya.
Teori Gestalt dengan metode globalnya juga sangat
berpengaruh dalam metode membaca dan menulis. Metode yang resmi digunakan
dengan mengacu teori ini dikenal dengan istilah S.A.S (Struktural, Analitis,
dan Sintesis). Metode ini dirintis oleh Dr. Ovide De Croly. Proses mengajarnya
adalah sebagai berikut:
a. Pada permulaan sekali, anak dihadapkan pada cerita
pendek yang telah dikenal anak dalam kehidupan keluarga. Cerita ini jelas
merupakan satu kesatuan yang telah dikenal anak. Karena itu, dengan mudah anak
akan segera dapat membaca seluruhnya dengan menghafal. Biarkan murid membaca
sambil menunjuk kalimat yang tidak cocok dengan yang diucapkan.
b. Menguraikan cerita pendek tersebut menjadi
kalimat-kalimat. Pendidik secara alamiah menunjukkan bahwa cerita pendek itu
terdiri dari kalimat-kalimat. Antarkalimat diberi warna yang berbeda, dan
antarkalimat diberi jarak yang cukup renggang.
c. Memisahkan kalimat-kalimat menjadi kata-kata. Tiap
kata ditulis dengan warna yang berbeda, terpisah, dan ditulis agak berjauhan.
Susunan tiap kata ditulis semakin menurun dan dibaca pelan-pelan sambil
menunjuk tiap kata.
d. Memisahkan kata menjadi suku
kata.
e. Memisahkan suku kata menjadi huruf, dan tiap
hurufnya ditulis dengan warna yang berbeda.
f. Setelah mengenal huruf, peserta didik diajarkan
menyusun suku kata; suku kata menjadi; dan kata menjadi kalimat.
Kebaikan
metode ini adalah peserta didik bisa belajar secara alamiah, sesuai dengan
prinsip persepsi gestalt. Pelajaran itu menarik, tidak menjemukan, karena
dimulai dengan cerita dan kalimat-kalimat yang mengandung arti. Metode ini
sesuai dengan tingkat perkembangan anak, tidak mengganggu, serta tergantung
pada proses persepsinya masing-masing. Peserta didik membaca dengan memahami
isinya dan akhirnya murid lebih cepat menguasai pembacaan yang sebenarnya.
5.
Teori Medan (Field Theory)
Lingkungan dipandang sebagai gejala yang saling
memengaruhi. Teori medan memandang bahwa tingkah laku dan atau proses kognitif
adalah suatu fungsi dari banyak variabel yang muncul secara simultan
(serempak). Perubahan pada diri seseorang bisa mengubah basil keseluruhan.
Kurt Lewin (1890-1947) menjelaskan bahwa tingkah laku
manusia dalam suatu waktu ditentukan oleh keseluruhan jumlah fakta psikologis
yang dialami dalam waktu tersebut. Menurutnya, fakta psikologis itu merupakan
sesuatu yang berpengaruh pada tingkah laku, termasuk marah, ingatan kejadian
masa lampau, dan lain-lain. Semua fakta itu menjadi ruang lingkup kehidupan
seseorang. Beberapa fakta psikologis akan memberi pengaruh positif atau negatif
pada tingkah laku seseorang. Keseluruhan gejala itulah yang akan menentukan
tingkah laku seseorang dalam suatu waktu. Tetapi, hanya pengalaman yang
disadarinya yang akan memberi pengaruh. Perubahan pada fakta psikologis akan
menyusun kembali seluruh ruang kehidupan. Jadi, tingkah laku merupakan
perubahan-perubahan kontinu dan dinamis. Manusia berada dan berkembang dalam
suatu pengaruh perubahan-perubahan medan yang kontinu. Itulah yang dimaksud
dengan teori medan dalam psikologi (Sri Rumini, 1993: 100-101).
Teori medan merupakan perkembangan dari teori gestalt.
Berikut penerapan teori medan dalam proses belajar-mengajar.
a. Belajar
adalah perubahan struktur kognitif (pengetahuan)
Orang belajar akan bertambah pengetahuannya, yang berarti tahu lebih banyak daripada sebelum belajar. Tahu lebih banyak berarti ruang lingkupnya bertambah luas dan semakin terdiferensikan. Itu semua berarti seseorang akan banyak memiliki fakta yang saling berhubungan.
Orang belajar akan bertambah pengetahuannya, yang berarti tahu lebih banyak daripada sebelum belajar. Tahu lebih banyak berarti ruang lingkupnya bertambah luas dan semakin terdiferensikan. Itu semua berarti seseorang akan banyak memiliki fakta yang saling berhubungan.
b.
Peranan hadiah dan hukuman. Hadiah
dan hukuman merupakan sarana motivasi yang efektif. Tetapi dalam penggunaannya
memerlukan pengawasan. Nilai yang baik bagi peserta didik pada umumnya
merupakan sesuatu hal yang diinginkan (hadiah). Tetapi, tugas-tugas dalam
belajar untuk mencapai nilai tersebut pada umumnya dianggap sebagai hukuman
yang membebani dan kurang menarik.
c.
Masalah sukses dan gagal. Kurt Lewin
lebih setuju penggunaan istilah sukses dan gagal dibanding hadiah dan hukuman.
Karena, apabila tujuan yang akan dicapai bersifat intrinsik, kita akan lebih
tepat mengatakan bahwa suatu tujuan berhasil atau gagal dicapai daripada
mengatakan bahwa suatu tujuan mengandung hadiah dan hukuman. Pengalaman sukses
dapat diperoleh melalui beberapa hal:
1)
Pengalaman sukses dialami bila seseorang benar-benar mendapatkan apa yang
diinginkannya. Misalnya, seseorang yang ingin lulus dalam suatu program
tertentu, kemudian ternyata memang lulus.
2)
Pengalaman sukses juga dialami bila sese¬orang sudah berada di dalam daerah
tujuan yang ingin dicapai. Misalnya, orang dikatakan lulus dalam suatu program
bila tinggal mengulang beberapa mata kuliah saja.
3)
Pengalaman sukses juga dialami kalau orang telah membuat suatu kemajuan ke arah
tujuan yang akan dicapai. Misalnya, orang merasa berhasil kalau telah
mempersiapkan diri dengan baik dalam menghadapi ujian.
4)
Pengalaman sukses juga dialami kalau orang telah berbuat dengan cara yang oleh
masyarakat dianggap sebagai cara untuk mencapai tujuan. Misalnya, seseorang
merasa suk¬ses bila pada waktu ujian keluar paling awal.
Pengalaman sukses atau gagal bersifat individual. Kejadian yang sama mungkin dialami sebagai sukses bagi seseorang, tetapi mungkin tidak demikian bagi orang lain. Contoh, anak yang duduk di kelas I SD tidak bisa menghitung 25 X 25 adalah wajar. Tetapi jika peserta didik tidak bisa, ia akan dianggap gagal.
Pengalaman sukses atau gagal bersifat individual. Kejadian yang sama mungkin dialami sebagai sukses bagi seseorang, tetapi mungkin tidak demikian bagi orang lain. Contoh, anak yang duduk di kelas I SD tidak bisa menghitung 25 X 25 adalah wajar. Tetapi jika peserta didik tidak bisa, ia akan dianggap gagal.
d. Taraf
Aspirasi. Pengalaman sukses dan gagal bersangkutan dengan taraf aspirasi
seseorang. Untuk itu, dalam mencapai sesuatu, setiap orang perlu merumuskan
tujuan meskipun masih bersifat sementara, sehingga ketika ia berada di daerah
tujuan sementara tersebut, ia akan merasa berhasil.
e.
Pengulangan dapat menimbulkan kejenuhan psikologis. Sebagai penerus dan
penyempurna aliran gestalt, Kurt Lewin berpendapat bahwa yang diperoleh pertama
pada saat belajar adalah pencerahan (insight), sedangkan pengulangan memiliki
kedudukan sekunder. Memang untuk mencapai pencerahan memerlukan pengulangan,
tetapi kuantitas pengulangan bukan yang menentukan insight. Justru ulangan yang
terlalu banyak akan menimbulkan kejenuhan psikologis, yang mengakibatkan terjadinya
diferensiasi (kekaburan). Itu berarti menambah jauhnya belajar dari pemecahan
masalah.
6. Teori
Humanistik
Arthur Combs, Abraham H. Maslow, dan Carl R. Rogers
adalah tiga tokoh utama dalam teori belajar humanistik. Berikut uraian
pandangan mereka. Arthur Combs,
seorang humanis, berpendapat bahwa perilaku batiniah, seperti perasaan, persepsi, keyakinan, dan maksud, menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain. Untuk memahami orang lain, kita harus melihat dunia orang lain seperti ia merasa dan berpikir tentang dirinya.
seorang humanis, berpendapat bahwa perilaku batiniah, seperti perasaan, persepsi, keyakinan, dan maksud, menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain. Untuk memahami orang lain, kita harus melihat dunia orang lain seperti ia merasa dan berpikir tentang dirinya.
Pendidik dapat memahami perilaku peserta didik jika ia
mengetahui bagaimana peserta didik memersepsikan perbuatannya pada suatu
situasi. Apa yang kelihatannya aneh bagi kita, mungkin saja tidak aneh bagi
orang lain.
Dalam proses pembelajaran, menurut para ahli psikologi
humanistis, jika peserta didik memperoleh informasi baru, informasi itu
dipersonalisasikan ke dalam dirinya. Sangatlah keliru jika pendidik beranggapan
bahwa peserta didik akan mudah belajar kalau bahan ajar disusun rapi dan
disampaikan dengan baik, karena peserta didik sendirilah yang menyerap dan
mencerna pelajaran itu. Yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana
bahan ajar itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu peserta didik memetik
arti dan makna yang terkandung di dalam bahan ajar itu. Apabila peserta didik
dapat mengaitkan bahan ajar dengan kehidupannya, pendidik boleh berbesar hati
karena misinya telah berhasil.
Abraham H. Maslow dikenal sebagai salah satu tokoh
psikologi humanistik. Karyanya di bidang ini berpengaruh dalam upaya memahami
motivasi manusia. la menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat dorongan
positif untuk tumbuh sekaligus ke-kuatan yang menghambat.
Suwardi (2005: 54), mengutip pendapat Maslow,
mengatakan bahwa ada beberapa kebutuhan yang perlu dipenuhi oleh setiap manusia
yang siratnya hierarkis. Pemenuhan kebutuhan dimulai dari kebutuhan terendah,
selanjutnya meningkat pada kebutuhan yang lebih tinggi. Kebutuhan tersebut
adalah.
a. Kebutuhan jasmaniah
b. Kebutuhan keamanan
c. Kebutuhan kasih sayang
d. Kebutuhan harga diri
e. Kebutuhan aktualisasi diri
Menurut ahli teori ini, hierarki kebutuhan manusia
tersebut mempunyai implikasi penting bagi individu peserta didik. Oleh
karenanya, pendidik harus memerhatikan kebutuhan peserta didik sewaktu
beraktivitas di dalam kelas. Seorang pendidik dituntut memahami kondisi
tertentu, misalnya, ada peserta didik tertentu yang sering tidak mengerjakan
pekerjaan rumahnya, atau ada yang berbuat gaduh, atau ada yang tidak minat
belajar. Menurut Maslow, minat atau motivasi untuk belajar tidak dapat
berkembang jika kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi. Peserta didik yang datang
ke sekolah tanpa persiapan, atau tidak dapat tidur nyenyak, atau membawa
persoalan pribadi, cemas atau takut, akan memiliki daya motivasi yang tidak
optimal, sebab persoalan-persoalan yang dibawanya akan mengganggu kondisi ideal
yang dia butuhkan.
Carl R.
Rogers adalah seorang ahli psikologi humanis yang gagasan-gagasannya
berpengaruh terhadap pikiran dan praktek pendidikan. la menyarankan adanya
suatu pendekatan yang berupaya menjadikan belajar dan mengajar lebih manusiawi.
Menurut Sri Rumini (1993: 110-112), gagasan itu adalah:
a. Hasrat untuk belajar
Menurut
Rogers, manusia mempunyai hasrat untuk belajar. Hal itu mudah dibuktikan.
Perhatikan saja, betapa ingin tahunya anak kalau sedang mengeksplorasi
lingkungannya. Dorongan ingin tahu dan belajar merupakan asumsi dasar
pendidikan humanistis. Di dalam kelas yang humanistis, peserta didik diberi
kebebasan dan kesempatan untuk memuaskan dorongan ingin tahu dan minatnya
terhadap sesuatu yang menurutnya bisa memuaskan kebutuhannya. Orientasi ini
bertentangan dengan gaya lama, di mana seorang pendidik atau kurikulum
mendominasi peta proses pembelajaran.
b. Belajar yang berarti
Prinsip ini
menuntut adanya relevansi antara bahan ajar dengan kebutuhan yang diinginkan
peserta didik. Anak akan belajar jika ada hal yang berarti baginya. Misalnya,
anak cepat belajar menghitung uang receh karena uang tersebut dapat digunakan
untuk membeli barang kesukaannya.
c. Belajar
tanpa ancaman
Belajar
mudah dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung
dalam lingkungan yang bebas ancaman. Proses pembelajaran dapat berjalan dengan
lancar ketika peserta didik dapat menguji kemampuannya, dapat mencoba
pengalaman-pengalaman baru, atau membuat kesalahan-kesalahan tanpa mendapat
kecaman yang menyinggung perasaannya. Jika kenyamanan sudah dia dapatkan,
pembelajaran pun akan menjadi kondusif. Anak tidak merasa tertekan dan pendidik
dianggapnya sebagai fasilitator yang menyenangkan.
d. Belajar
atas inisiatif sendiri
Bagi para
humanis, belajar akan sangat bermakna ketika dilakukan atas inisiatif sendiri.
Peserta didik akan mampu memilih arah belajarnya sendiri, sehingga memiliki
kesempatan untuk menimbang dan membuat keputusan serta menentukan pilihan dan
introspeksi diri. Dia akan bergantung pada dirinya sendiri, sehingga
kepercayaan dirinya menjadi lebih baik.
e. Belajar
dan perubahan
Prinsip
terakhir yang dikemukakan Rogers adalah bahwa belajar paling bermanfaat adalah
belajar tentang proses belajar. Menurutnya, di waktu lampau peserta didik
belajar mengenal fakta-fakta dan gagasan-gagasan yang statis, dan apa yang
didapat di sekolah dirasa sudah cukup untuk kebutuhan saat itu. Tetapi
sekarang, tuntutan mengubah pola pikir yang datang setiap waktu. Apa yang
dipelajari di masa lalu tidak dapat mudah dijadikan pegangan untuk mencapai
sukses di masa sekarang ini. Apa yang dibutuhkan sekarang adalah orang-orang
yang mampu belajar di lingkungan yang sedang berubah dan terus akan berubah.
Aliran dan teori pendidikan ini menjadi warna yang dominan di dunia pendidikan. Meski tidak dianut seluruhnya, minimal ada aliran yang diikuti dan teori yang digunakan sebagai upaya pengembangan pendidikan.
Aliran dan teori pendidikan ini menjadi warna yang dominan di dunia pendidikan. Meski tidak dianut seluruhnya, minimal ada aliran yang diikuti dan teori yang digunakan sebagai upaya pengembangan pendidikan.
C.
PILAR-PILAR PENDIDIKAN
Ada enam
pilar pendidikan yang direkomendasikan UNESCO yang dapat digunakan sebagai
prinsip pembelajaran yang bisa diterapkan di dunia pendidikan.
1. Learning to Know
Learning to
know bukan sebatas mengetahui dan memiliki materi informasi sebanyak-banyaknya,
menyimpan dan mengingat selama-lamanya dengan setepat-tepatnya, sesuai dengan
petunjuk’petunjuk yang telah diberikan, namun juga kemampuan dalam memahami
makna di balik materi ajar yang telah diterimanya. Dengan learning to know,
kemampuan menangkap peluang untuk melakukan pendekatan ilmiah diharapkan bisa
berkembang yang tidak hanya melalui logika empirisme semata, tetapi juga secara
transendental, yaitu kemampuan mengaitkannya dengan nilai-nilai spiritual.
2. Learning
to Do
Learning to
do merupakan konsekuensi dari learning to know. Kelemahan model pendidikan dan
pengajaran yang selama ini berjalan adalah mengajarkan “omong” (baca: teori),
dan kurang menuntun orang untuk “berbuat” (praktek). Semangat retorika lebih
besar dari action. Yang dimaksud learn¬ing to do bukanlah kemampuan berbuat
mekanis dan pertukangan tanpa pemikiran. Dengan demikian, peserta didik akan
terus belajar bagaimana memperbaiki dan menumbuhkembangkan kerja, juga
bagai¬mana mengembangkan teori atau konsep intelektualitasnya.
3. Learning
to Be
Melengkapi
learning to know dan learning to do, Robinson Crussoe berpendapat bahwa manusia
itu hidup sendiri tanpa kerja sama atau saling tergantung dengan manusia lain.
Manusia di era sekarang ini bisa hanyut ditelan masa jika tidak berpegang teguh
pada jati dirinya. Learning to be akan menuntun peserta didik menjadi ilmuwan
sehingga mampu menggali dan menentukan nilai kehidupannya sendiri dalam hidup
bermasyarakat sebagai hasil belajarnya.
4. Learning
to Live Together
Learning to
live together ini merupakan kelanjutan yang tidak dapat dielakkan dari ketiga
poin di atas. Oleh karena itu, premis ini menuntut seseorang untuk hidup
bermasyarakat dan menjadi educated person yang bermanfaat baik bagi diri dan
masyarakatnya maupun bagi seluruh umat manusia.
5. Learning
How to Learn
Sekolah boleh saja selesai, tetapi belajar tidak boleh
berhenti. Pepatah, “Satu masalah terjawab, seribu masalah menunggu untuk
dijawab”, seakan sudab menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan
yang serba modern ini. Oleh karena itu, Learning How to Leam akan membawa
peserta didik pada kemampuan untuk dapat mengembangkan strategi dan kiat
belajar yang lebih independen, kreatif, inovatif, efektif, efisien, dan penuh
percaya diri, karena masyarakat baru adalah learning society atau knowledge
society. Orang-orang yang mampu menduduki posisi sosial yang tinggi dan penting
adalah mereka yang mampu belajar lebih lanjut.
Learning How to Learn memerlukan model pembelajaran
baru, yaitu pergeseran dari model belajar “memilih” (menghafal) menjadi model
belajar “menjadi” (mencari/meneliti). Asumsi yang digunakan dalam model belajar
“memiliki” adalah “pendidik tahu”, peserta didik tidak tahu. Oleh karena itu,
pendidik memberi pelajaran, peserta didik menerima. Yang dipentingkan dalam
model belajar “memiliki” ini adalah penerima pelajaran, yang akan menerima
sebanyak-banyaknya, menyimpan selama-lamanya, dan menggunakannya sesuai dengan
aslinya serta menurut instruksi yang telah diberikan. Sebaliknya, pada proses
belajar “menjadi”, peserta didik sendiri yang mencari dan menemukan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan yang dihadapinya, sedang pendidik dituntut
membimbing, memotivasi, memfasilitasi, memprovokasi, dan memersuasi.
6. Learning
Throughout Learn
Perubahan dan perkembangan kehidupan berjalan terus
menerus yang semakin keras dan rumit. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain
kecuali harus belajar terus menerus sepanjang hayat. Learning Throughout Life
ini menuntun dan memberi pencerahan pada peserta didik bahwa ilmu bukanlah
hasil buatan manusia, tetapi merupakan hasil temuan atau hasil pencarian
manusia. Karena ilmu adalah ilmu Tuhan yang tidak terbatas dan harus dicari,
maka upaya mencarinya juga tidak mengenal kata berhenti.
Bertolak dari butir-butir tersebut, gagasan paradigma
baru pendidikan Indonesia dalam abad mendatang adalah: pertama, mengubah dan
mengembangkan paradigma lama menjadi paradigma baru. Tinggalkan yang sudah
tidak sesuai dengan tuntutan kondisi terkini. Kembangkan nilai-nilai lama yang
sekiranya masih dapat dimanfaatkan, dan ciptakan pandangan baru yang sesuai
dengan kebutuhan atau tantangan zaman. Termasuk di sini adalah perubahan
pendekatan dalam pendidikan yang sentralistik dan segregatif, serta mewujudkan
pendidikan masa depan dan nasional menuju terwujudnya suatu masyarakat dunia
yang damai. Pendidikan untuk perdamaian dunia hanya mungkin terwujud di dalam
sua¬tu pendidikan yang dimulai di dalam masyarakat lokal yang berbudaya.
Kedua, perlunya perubahan metode penyampaian materi
pendidikan. Metode yang kita gunakan selama ini rasanya terlampau banyak
menekankan penguasaan informasi untuk menyelesaikan masalah. Akibatnya, kita
hanya mengutamakan manusia yang patuh dan kurang memikirkan terbinanya manusia
kreatif. Ketiga, paradigma pendidikan agama yang eksklusif, dikotomis, dan
parsial harus diubah menjadi pendidikan yang inklusif, integralistik, dan
holistis.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Setiap
daerah memiliki nuansa pendidikan yang berbeda-beda, sehingga banyak bermuncun
pemikiran-pemikiran yanf dianggap sebagai penyesuaian proses pendidikan yang
berbeda-beda yang telah dikemukakan oleh para pemikir, diantara aliran-aliran
pendidikan tersebut adalah aliran empiris, nativisme, naturalisme, konvergensi,
progresivisme, esensialisme, perenialisme, dan aliran konstrukvisisme.
2. Dari
munculnya berbagai aliran pendidikan muncullah berapa teori-teori pendidikan,
diantara teori-teori pendidikan tersebut adalah teori koneksionisme, hukum
kesiapan (The Law of Readiness), hukum latihan (The Law of Exercise), hukum
akibat (The Law of Effect), teori classica conditionins, teori operant
conditionis, teori gestalt, teori medan dan teori humanistic.
3. Dalam
penerapan prinsip pembelajaran di dunia pendidikan, United Nations Educational
Scientific and Cultural Organisation (UNESCO)
telah merekomendasikan enam pilar pendidikan yang dapat kita jadikannya
sebagai prinsip pembelajaran, keenam pilar pendidikan tersebut yaitu learning
to know, learning to do, learning to be, learning to live together, learning
how to learn dan learning throughtout learn.
B. SARAN
Didalam
makalah ini telah kita ketahui beberapa aliran-aliran pendidikan yang
berbeda-beda yang telah dikemukakan oleh para pemikir dalam nuansa yang
berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, sebagai usaha
penyesuaian proses pendidikan dengan kebutuhan yang diperlukan, yang
selanjutnya diikuti dengan munculnya teori-teori pendidikan dan pilaar-pilar pendidikan.
Sudah seharusnya lah kita sebagai calon pendidik umum atau calon pendidik anak
dalam rumah tangga memahami aliran, teori dan pilar pendidikan tersebut, yang
dapat kita jadikannya sebagai landasan prinsip dalam pembelajaran.
Seorang
pendidik yang miskin prinsip dalam pembelajaran akan selalu kesulitan dalam
usaha mendidik anak didiknya, bahkan anak didiknya sendiri akan selalu
kesulitan menerima pendidikan yang diberikan olehnya, maka dari itu, perlulah
untuk kita mengetahui ini semua tertama sekali bagi kita para calon pendidik
(guru).
Semoga
kita dapat menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran yang baik dalam dunia
pendidikan kita, dan semoga kita semua menjadi tenaga pendidik yang berkualita,
berkompetensi dan profesionalisme. Aamiin . . .
DAFTAR
PUSTAKA
Tirtarahardja, Umar dan La Sula. 2005. Pengantar
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.Redja Mudyaharjo. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Joseph Mbulu, dkk. 2005. Pengantar Pendidikan. Malang: Laboratorium Teknologi Pendidikan.
http://12entinfujirahayu.wordpress.com/2011/05/16/aliran-aliran-pendidikan/
(Senin, 12 Maret 2012. 20:20)
http://meilanikasim.wordpress.com/2008/12/01/aliran-teori-dan-pilar-pilar-dalam-pendidikan/ (Minggu, 11 Maret 2012. 16:39)
http://www.infogue.com/viewstory/2008/12/02/aliran_teori_dan_pilar_pilar_dalam_pendidikan/ (Minggu, 11 Maret 2012.16:55)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar